23 Mei 2012

Tirto Adhi Suryo

Untuk mengenang salah satu tokoh Pembebasan Nasional, Tirto Adhi Suryo, yang wafat pada tanggal 7 Desember 1918.

Seorang besar acapkali baru terasa kadar kebesarannya tatkala dia sudah tiada. Dan selalu saja kita terlambat menyadarinya. Tak terbilang tokoh yang terlepas dari kesadaran historis kita, entah karena pemburaman ‘sejarah’ yang memang sering dikuasai kaum yang menang atau lantaran kita tak pernah sungguh-sungguh jujur dalam menilai kembali ‘sejarah’ kita sendiri. Dan karenanya, kita telah melupakan satu nama: Tirto Adhi Suryo. Sungguh ironis, mengingat dia adalah sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia. Tirto, pertama-tama harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam demokrasi modern. Dan Tirto lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam mengajarkan kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan kolonial, menjadi kaum mardika.


Pramudya Ananta Toer, penulis besar beberapa kali, berturut-turut, dinominasikan meraih nobel kesusastraan menuangkan segenap kekagumannya pada sang tokoh dengan menulis Sang Pemula dan tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Mencermati garis hidupnya, pada masanya Tirto memang seorang pribadi pemula, dalam segala hal. Ia lebih dikenal, itu pun oleh segelintir orang saja, sebagai perintis pers. Padahal, tangannya lah yang menciptakan hampir seluruh senjata bagi perubahan ke arah dunia modern. Tirto merupakan seorang pribumi pertama yang mendirikan NV (sebagai bentuk perniagaan), percetakan, hotel, lembaga bantuan hukum, lembaga penyalur tenaga kerja, perintis bidang periklanan, perintis emansipasi kaum perempuan, sekaligus pendiri SDI (menurut ejaan sekarang/MES: Serikat Dagang Islam), cikal bakal SI (MES: Serikat Islam), organisasi modern pribumi pertama dan terbesar di Indonesia.

Terlahir di Blora tahun 1880, dari keluarga aristokrat Jawa. Bapaknya, seorang Bupati bernama RM Tirtodipuro. Djokomono, nama kecilnya. Satu hal yang membuatnya beruntung, karena asal muasal kastanya, adalah kesempatan mendapatkan pendidikan Eropa, sehingga ia bisa membandingkan antara kultur kasta bangsawannya, yang dianggapnya ‘kuno dan menindas’, dengan kultur ‘modern yang membebaskan’.

Djokomono kecil tak mengenal kedua orang tuanya dengan baik, sejak kecil ia hidup berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain yang memiliki jabatan-jabatan penting pemerintahan di Jawa. Sosok yang ia sematkan hormat tertingginya adalah sang nenek seorang perempuan agung, yang dengan gagah berani menghadap Gubernur Jendral Hindia Belanda, memprotes ketidakadilan yang ditimpakan pada suaminya, seorang Bupati di Bojonegoro. Sang nenek lah yang memberinya petuah-petuah berharga: percaya pada kekuatan sendiri, tak takut pada kemiskinan dan kehilangan pangkat. Sikap Tirto yang berbeda dari watak kebanyakan kastanya: bicara lugas, berani menentang ketidakadilan, membuatnya tersisih dari pergaulan saudara-saudaranya. Terutama, setelah ia menolak mentah-mentah meneruskan jabatan bapaknya.

Tirto, pribadi penggelisah dan sendiri, agaknya memang terlahir untuk membebaskan. Budaya tulis menghantarkannya pada dunia yang agung dan gemilang. Ia adalah seorang jurnalis pribumi pertama yang menulis dengan bahasa Melayu lingua franca. Ia adalah jurnalis yang jangkauan gagasannya melambung jauh melebihi keadaan jamannya. Di tangannya, pers menjelma sebagai senjata pembela keadilan. Dalam Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi menyebut bahwa Tirto lah orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Tak berlebihan kiranya menyebut Tirto sebagai inisiator kebangkitan kesadaran nasional, yang mengawali langkahnya tanpa gentar: bahwa proses pemerdekaan harus dirintis dari dua bilah mata pisau: koran dan organisasi!

Titik terpenting hidupnya diawali ketika ia bersekolah di STOVIA pada usia 13 tahun. Ini memang tak lazim, umumnya anak para bangsawan lebih memilih sekolah pamong praja, yang menjamin jalan lempang menuju kekuasaan; sedangkan sekolah kedokteran, tentu lebih condong dengan ‘pengabdian’ ketimbang kekuasaan. Di sekolah ini lah dan di kota Batavia lah Tirto muda menempa diri dengan beragam pergaulan dan pengetahuan. Di lingkungan sosial seperti itu lah lah ia, untuk pertama kali, terbebas dari segala aturan feodal kebangsawanan yang menyesakkan.

Sejak mula cita-citanya cuma satu: membuat surat kabar sendiri, sebagai suluh penerang bagi bangsanya. Sayang, semua selalu terbentur ketiadaan dana. Baru lah, pada tahun 1903, dengan bantuan modal dari RAA Prawiradiredja, Bupati Cianjur yang sepakat dengan ide-idenya, berdirilah surat kabar yang diberi nama Soenda Berita, yang merupakan urat kabar pertama yang didirikan, dikelola dan diterbitkan oleh orang pribumi. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan bangsanya, menyiapkan pembaca memasuki dunia modern.

Pada tahun 1905, Tirto mengembara ke Maluku. Di sana ia bertemu dan menikah dengan seorang putri Raja Bacan, Princess Fatimah, seorang perempuan cerdas lulusan MULO yang mahir berbahasa Belanda; seseorang yang kelak kemudian menjadi anggota redaksi Medan Priyayi. Sepulang dari Maluku, tempat ia menyaksikan kebiadaban kolonial warisan JP Coen, sebuah gelora baru merubah semua bentuk tulisannya: menjadi lebih lugas, lebih garang. Pada tahun 1907, ia mendirikan Medan Priyayi, sebuah mingguan sederhana berformat 12,5 x 19,5 cm, dengan tebal 22 halaman. Ia memulai sebuah gagasan bentuk perniagaan, yakni dengan meminta pelanggan membayar lebih dahulu dengan imbalan memiliki saham perusahaan bernama NV Medan Priyayi. Itu lah bentuk perniagaan pertama yang didirikan pribumi.

Setahun kemudian, mingguan Medan Priyayi berubah menjadi harian. Tirto menciptakan gaya jurnalistik tersendiri, radikal dan penuh sindiran. Ia menulis tentang berbagai penyelewengan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah kolonial maupun para kaki tangan pribumi. Semangatnya untuk menggerakkan bangsanya menentang ketidakadilan semakin berkobar. Tulisan-tulisannya makin berani. Ia, yang sangat mengagumi Max Havelaar, orang mengungkap kebusukan-kebusukan kolonial yang dibungkus politik etis. Pemerintah kolonial murka. Lantaran tulisannya tentang penyalahgunaan jabatan di sebuah daerah, Tirto dibuang ke Lampung, selama 3 bulan. Saat itu, hampir semua aktivis yang berani membuka kedok kekuasaan kolonial ke media massa sempat dijebloskan ke penjara. Mereka dijerat pers-delict, dianggap mengganggu rust en orde kolonial. Mas Marko, seorang jurnalis muda radikal, 4 kali mendekam di tahanan lantaran tulisan-tulisannya.

Sekembalinya dari pembuangan, Tirto membenahi NV Medan Priyayi yang sempat terbengkelai. Pada tahun 1907 ia mendirikan Sarekat Priyayi, organisasi pribumi pertama, yang kemudian berubah menjadi SDI untuk mengorganisir para pedagang batik yang berbasis di Solo. Pada tahun 1911, ia berkeliling ke kota-kota besar pusat modal pribumi untuk mengorganisir pembentukan cabang-cabang SDI. Untuk itu, kepemimpinan SDI, untuk sementara, diserahkan pada H. Samanhudi, seorang saudagar batik terkemuka di Solo. Peranan Tirto sebagai pendiri SDI dikikis oleh H Samanhudi sendiri. Pemerintah kolonial, yang sangat membenci Tirto, lewat DA Rinkers, seorang ilmuwan Belanda yang mengabdi pada politik kolonial, membantu mengaburkan fakta ketokohan Tirto. Hingga, kemudian, Samanhudi lah yang lebih dikenal sebagai pendiri SDI yang, kemudian, berkembang pesat dan berubah menjadi SI.

Gerakan perempuan juga menjadi komitmen Tirto. Pada tahun 1908, ia merintis pendirian surat kabar Poeteri Hindia, yang melahirkan nama Siti Soendari, sebagai penulis termahsyur. Siti Soendari, berpendidikan Belanda, lebih memilih menjadi perempuan merdeka, yang bercita-cita, ketimbang mengikuti kehendak orang tua, yang menawarkan segala fasilitas dan kemudahan. Jadi-lah Soendari sebagai sosok aktivis politik perempuan pribumi pertama. Sebarisan srikandi yang bertarung melawan kekuatan zaman bermunculan. Di Sumatra Barat muncul Rohana Koedoes, yang mendirikan koran ‘Sunting Melayu”. Selain lewat koran, menurut Tirto, kemajuan gerakan perempuan juga harus dimulai lewat sekolah, ia menjadi donatur tetap sekolah perempuan di Jawa Barat yang didirikan oleh Dewi Sartika.

1909-1912, adalah titik puncak kegemilangan surat kabar harian Medan Priyayi. Jumlah pelanggannya mencapai 2.000 orang. Suatu masa yang sangat dicita-citakan Tirto sejak mudamenyaksikan bangsanya bangkit dari kebodohan dan ketertindasan hampir saja tercapai. Tetapi, karena gangguan kolonial, Medan Priayi, alat propaganda dan pengorganisiran yang sudah demikian kokoh itu, akhirnya runtuh satu per satu dan omsetnya terus merosot; setoran dari para pelanggannya macet; beberapa perusahaan menolak pasang iklan. Medan Priyayi tak mampu melunasi biaya percetakan. Akhirnya, Agustus 1912, Medan Priyayi gugur secara dramatis. Seperti diistilahkan Pram, “semua yang dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya. Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”

Sang tokoh ditahan lantaran tak mampu melunasi tunggakan hutang. Sebagai hukumannya, ia dibuang ke Ambon pada tahun 1913. Dua tahun berikutnya ia baru kembali ke Jawa, ketika semuanya telah berubah. Jaman terus bergulir. Organisasi makin banyak bermunculan, puluhan tokoh namanya terderek naik, menyesaki rongga ingatan rakyat. Pergerakan nasional hampir mencapai titik terangnya.

Barangkali memang sudah menjadi sebuah kelaziman sejarah, manusia-manusia berjiwa agung harus mengakhiri periode hidupnya dalam kesepian dan keterasingan. Apakah itu Galileo, yang mati di tiang gantung; Marx, Soekarno, juga Chairil Anwar, yang mati di ujung perih dan sepi. Djokomono Tirto Adhi Soeryo, meninggal setelah menderita sakit bertahun-tahun. Tak ada yang pernah memeriksa, sekalipun kawan-kawan dekatnya adalah dokter-dokter termahsyur pada masanya. Ia telah terlunta-lunta, sendiri. Hotel Medan Priyayi, miliknya, yang semula banyak menghidupi surat kabarnya, telah berpindah tangan ke sahabatnya sendiri Gunawan, ketika ia masih dalam pengasingan. Tirto bertahan sampai wafatnya di sana, karena itu lah satu-satunya tempat ‘miliknya’ yang bisa dituju. Ia tak punya lagi sanak saudara. Tirto yang, menurut propaganda kolonial, sangat berbahaya kondisinya sudah rapuh dan papa, membuat semua sahabatnya menjauh.

Pada tanggal 7 Desember 1918, seperti digambarkan oleh mas Marko, seorang murid dan pengagum Tirto, dalam tulisannya: “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.” Tak satupun koran memuat kabar kematiannya. Ia benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang dicintai, dan dididiknya untuk maju. Sementara itu, perjuangan pembebasan umat manusia, yang merupakan bagian terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Tirto Adhi Soeryo, lambat laun mengalun. Ia telah terbaring tenang. Sebagaimana ditulis Pram dalam Sang Pemula: “ Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?” **
Previous Post
Next Post

0 Please Share a Your Opinion.: