Maria Luisa tumbuh dan besar dalam lingkungan Katolik Roma yang taat. Ibunya seorang biarawati sebelum akhirnya meninggalkan gereja, dan fokus mengasuh anak-anaknya.
Di usia tujuh tahun, Maria telah berbaiat untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Tekad mengabdi pada gereja membuatnya dianugerahi “Katekis of The Year Award”,
ketika ia lulus SMA. Katekismus adalah buku penjelasan atau instruksi
resmi mengenai iman dan ajaran Gereja Katolik Roma. Setelah itu,
perjalanan spiritual Maria terus meningkat.
Selesai sekolah, ia ambil bagian dalam sebuah yayasan kemanusiaan yang bertujuan menyatukan Filipina
dalam doa tanpa memandang agama. Yayasan ini menguatkan keyakinannya
bahwa semua manusia terlepas dari latar belakangnya berasal dari Tuhan.
“Aku mulai melaksanakan devosi, aku percaya santo bukanlah dewa kecil namun serupa denganku. Di sisi lain, aku mempertanyakan posisiku, mengapa harus melalui dia tidak langsung kepada Tuhan,” ujarnya.
Kedekatan Maria kepada Tuhan diuji ketika ibunya didiagnosi leukimia
stadium akhir. Periode itu tidak membuat Maria menjauh, sebaliknya ia
tak ragu untuk terus berdoa kepada Tuhan agar ibunya diberikan
kesembuhan.
Namun, teman-teman parokinya justru memintanya agar menyerahkan nasib ibunya kepada Tuhan. “Aku akhirnya menyerah,” kata dia.
Kematian ibunya merupakan titik terpenting dalam hidupnya. Sejak itu,
Maria menjadi pelayan Tuhan. Ia sadar seberapa keras ia berjuang, pada
akhirnya Tuhan-lah yang memutuskan.
Setelah ibunya meninggal, Maria mendapat tawaran pekerjaan di Qatar.
Saat itu, Maria merasa belum siap untuk bekerja di luar Filipina. Ia
tolak pekerjaan itu.
Tahun 2006, ia kembali mendapat tawaran pekerjaan di Qatar. Kali ini,
ia berpikir untuk mengambil pekerjaan itu. Selama proses wawancara, ia
merasa memang pekerjaan itu untuk dirinya.
Dalam waktu sebulan, setelah proses wawancara, ia akhirnya berangkat
ke Qatar. Sepanjang perjalanan, ia merasa akan mendapatkan kehidupan
lebih baik. “Ternyata, aku mendapat lebih dari apa yang kubayangkan,” tuturnya.
Selama di luar negeri, Maria selalu teringat dengan perkataan ibunya
tentang Tuhan. Sewaktu kecil, Maria pernah bertanya kepada ibunya soal
hakikat penciptaan alam raya.
Ia habiskan waktu untuk berpikir tentang bagaimana proses penciptaan,
dan di mana posisi Tuhan saat itu. “Ibuku berkata, Tuhan itu Mahabesar
dan tidak terbatas. Ia memang berada di luar logika, tapi percayalah, ia
ada di mana-mana,” kenang Maria menirukan ucapan ibunya.
Perkataan ibunya itu menarik perhatiannya. Pada dasarnya, manusia
dilahirkan untuk mengetahui, mencintai dan melayani. Maria berkeyakinan
semua orang akan mengalami masa-masa itu. “Alhamdulillah, menjadi Muslimah adalah hasil akhir dari pencarianku,” ucapnya.
Hidayah telah membawa Maria menuju Qatar. Pada tahun 2009, perusahaan
tempat ia bekerja mulai mengalami kesulitan keuangan. Perusahan itu
akhirnya memberhentikan dirinya.
Beruntung, tidak butuh waktu lama bagi dirinya mendapatkan pekerjaan lain. “Aku diterima bekerja di lembaga Islam. Aku tidak bekerja bersama orang Islam, tapi aku tidak memikirkan hal itu,” kata dia.
Awal 2010, ia bertemu dan menjalin kasih dengan Muslim Filipina.
Namun, tidak pernah terjadi dialog soal agama. Ia tahu betul soal
Katolik. Sebab, ada keluarganya yang beragama Kristen. Pria itu meyakinkan Maria agar tidak perlu merasa tidak nyaman.
Dalam satu kesempatan, Maria pergi bersama bosnya ke Fanaar, Islamic Center Qatar.
Ketika datang, ia mendapat salinan tentang Muslimah ideal. Maria mulai
membacanya selama tiga bulan, saat kekasihnya tidak berada di Qatar.
Begitu membacanya, Maria merasa ayat-ayat Al-Quran memperlihatkan Tuhan seolah berbicara secara langsung kepada umatnya.
Selesai membaca, Maria mendapat salinan Al-Quran dalam bahasa Tagalog. Seketika, Maria merasa terharu dan meneteskan air mata.
“Dalam hatiku, aku ingin mencari bimbingan soal ini. Aku harus mengetahui apa yang dibutuhkan,” kata dia. Ia mulai mencari informasi lewat web dan membaca literatur yang ada.
Situasi itu tidak bertahan lama. Maria mulai merasakan dilema dan
krisis akibat bertumpuknya masalah yang ia hadapi. Ia pun bingung
bagaimana harus berdoa. Di satu sisi, apakah ia akan menjalani
kebaktian, atau ia mendirikan shalat.
Sulit baginya menemukan jawaban yang tepat, sampat satu malam Maria bermimpi. “Ya Tuhan, bagaimana aku harus berdoa,” ujarnya.
Kekasihnya, akhirnya kembali dari Filipina. Tuhan memberikan waktu
kepada Maria untuk menegaskan jawaban atas dilema yang dihadapi.
Jawabannya jelas, hati dan pikirannya sudah seiring sejalan untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat. Maria segera menuju Fanaar guna
merealisasikan niatannya itu.
Sepanjang perjalanan muncul pertanyaan dalam dirinya. Apabila
kekasihnya itu tidak bersama dirinya apakah ia masih bertahan dalam
Islam, lalu ketika mati, bagaimana keluarganya memakamkan dirinya.
Pertanyaan lain, mengapa pria Muslim diperbolehkan menikah empat kali. “Aku berharap, kunjunganku ke Fanaar akan menjawab pertanyaan itu,” ungkapnya.
Tiba di Fanaar, ia ditemani oleh dua pembimbing; Zarah dan Maryam.
Ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, air matanya mulai mengalir.
“Aku masih ingat, hari ketika aku mengucapkan dua kalimat syahadat, terjadi gempa tsunami di Jepang. Melihat kejadian itu, aku merasa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah membersihkan dosa-dosaku dengan menjadi Muslimah. Alhamdulillah,” pungkas dia.
kisahmuallaf.com
0 Please Share a Your Opinion.: