29 Juli 2012

Ritual Puasa Muslim Tionghoa

KIPRAH muslim Tionghoa di Sulsel  telah mengakar sejak empat abad silam. Ditandai dengan masuknya agama Islam sejak tahun 1619 M. Kini, muslim Tionghoa aktif mensyiarkan dakwah Islamiyah melalui  Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Sulsel.

KURANG sepuluh menit lagi azan magrib berkumandang, tanda waktu berbuka puasa tiba. Di hari keenam Ramadan 1433 Hijriah atau Kamis, 26 Juli,  sekira enam puluh anggota PITI Sulsel menghabiskan waktu berbuka puasa bersama anak yatim panti asuhan.

Ya, di ruang aula lantai dua Panti Asuhan Al-Muhajirin BTN Aura Blok 1-5/14 Desa Bontoala, Kecamatan Pallangga, Gowa, bauran muslim Tionghoa dengan para bocah  panti asuhan itu,  terlihat indah. Tak ada sekat yang muda-yang tua. Maupun  kaya-miskin. Semuanya luruh dalam kebersamaan. Duduk berhimpun mendengar ceramah yang dibawakan oleh  Ustaz Drs H Ridwan Sese.

“Sebelum bekerja, ucapkan? Bismillah…selesai kerja ucapkan? Alhamdulillah. Terkena musibah, jangan lupa innalillah…!,” sang ustaz menghamburkan pertanyaan. Puluhan anak berebut menjawab.

Henny,38 tahun, menempelkan tubuhnya di dinding aula. Duduk takzim mendengar ceramah. Wanita keturunan Tionghoa ini mengaku terharu bisa mengikuti acara buka bersama sore itu. “Berbagi itu lebih baik daripada kita makan sendiri. Apalagi bersama anak panti asuhan,” ujar wanita yang tampak anggun dengan jilbab hitamnya.

Tak jauh dari Henny,  Hj Kartini mulai menangis tersedu-sedu. Ketika FAJAR menghampiri, wanita turunan Tionghoa itu mengaku sedih dengan kondisi anak-anak panti asuhan. “Sa..saya tidak bisa bayangkan mereka hidup dalam keterbatasan,” katanya dengan agak terbata.

*Cikal Bakal PITI

Mantan Ketua DPW  PITI Sulsel, Drs Sulaiman Gosalam, Msi alias Go Tjie Kiong  menuturkan, kunjungan ke panti asuhan merupakan salah satu agenda utama dalam Ramadan tahun ini. “Selain itu, ada pengajian dan buka bersama dibarengi salat tarawih berjemaah. Tempatnya bergiliran dari rumah ke rumah anggota,” jelasnya di kediamannya, Jl Sunu Kompleks Unhas KX4.

Ditanya mengenai lahirnya PITI Sulsel, Sulaiman yang juga dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas menceritakan, sejarah PITI Sulsel tak lepas dari asal-usul Tionghoa Islam itu sendiri di tanah Makassar.

Sambil membuka artikel yang ditulis oleh Tjia Goam Lien alias Sulaiman di bulan Maret 1953,  sejarah masuknya etnis Tionghoa menjadi pemeluk agama Islam terbukti pada tahun 1600 M. Dimana waktu itu, datanglah seorang khatib bernama Abdul Ma’mur (Dato Ri Bandang).

“Dialah yang mula-mula mengajak dan memasukkan orang Tionghoa ke dalam Islam. Orang Tionghoa yang pertama kali masuk itu bernama Ong Tiong Ho alias Abdullah,” jelasnya. Pada tahun 1619 M, Dato Ri Bandang berpulang ke rahmatullah. Kematian sang guru,  membuat hati Ong Tiong Ho amat berduka.

“Sewaktu jenazah gurunya diturunkan ke liang kubur,  Ong Tiong Ho turun pula. Lalu dipeluknya sang guru ketika hendak dibaringkan di liang lahad sebagai bukti cinta sejatinya,” tutur ayah lima anak itu. 

Ternyata, ketika memeluk sang guru, dirinya turut meninggal. Hingga Ong Tiong Ho dimakamkan di samping makam Dato Ri Bandang. Makam murid yang mencintai gurunya itu diberi nama “Djerana Tjina Tappakah Ri Gurunja” yang artinya sebuah makam orang Tionghoa yang yakin pada gurunya. Makam tersebut didapati saat itu di Kampung Kaluku Bodoa, Kota Makassar.

Masih berdasarkan artikel, kedatangan etnis Tinghoa memasuki Sulsel berasal dari Pulau Jawa dan Borneo (Kalimantan) dengan menggunakan perahu yang terbuat dari kayu serta layar yang terbuat dari daun bambu. Besarnya perahu itu bahkan memuat beratus-ratus sampai seribu ton.

Tanah yang mula-mula didiami oleh etnis ini di suatu tempat di pinggir sungai yang bernama Sungai Canira. Sungai ini berlika-liku alirannya melalui beberapa kampung dan bermuara di sebuah kampung lagi yaitu Rumbiah.

“Semakin tahun, etnis Tionghoa yang datang di Sulsel semakin banyak. Pergaulan mereka semakin akrab utamanya terhadap golongan Petani (suku Melayu) yang telah dahulu mendiami sehingga kampung itu sekarang disebut Kampung Melayu,” jelas pria berkacamata ini.

Pergaulan yang akrab itulah maka etnis Tionghoa dan etnis Melayu pun ada yang menikah. Namun sebelum menikah, etnis Tionghoa ini harus mengerti dulu mengenai rukun Islam dan peraturan-peraturan dalam agama Islam. Pada tahun 1915 dibongkarlah Kota Makassar beserta makam-makam etnis Tionghoa yang terdapat di pinggir Sungai Canira. Bekas makam yang dibongkar itu dijadikan Jl Buton dan bekas Sungai Canira  dijadikan Pasar Buton.

Tahun 1931, Muhammadiyah Cabang Makassar mengadakan kongresnya yang bertempat di Makassar. Di antara para utusan kongres, salah satunya Oei Tjieng Hien sebagai sebagai orang Tionghoa Islam yang berasal dari Sumatera Selatan.  “Dengan datangnya orang Tionghoa bernama Oei Tjieng Hien ini sehingga sang penulis artikel, Tjia Goam Lien timbul semangat baru untuk mendirikan organisasi. Tujuannya  mempertahankan kesucian agama Islam,” kata suami Nur Erawaty.

Maka, pada tanggal 26 Februari 1933 lahirlah organisasi dengan nama Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII) di tengah-tengah masyarakat Tionghoa yang belum banyak memeluk Islam. Tujuan partai itu yakni menuntut kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kesucian agama Islam yang berdasarkan Alquran dan Hadis dengan ketuanya bernama Sie Hok Keng alias Abdul Haliq.

Ketika kedatangan Jepang, partai ini dibekukan karena tidak sanggup berkompromi dengan Jepang. “Selesainya peperangan Jepang dengan sekutu yang mendapat kekalahan pada tahun 1945, maka kembali dibangun partai lama namun dengan berganti nama baru yakni Serikat Tionghoa Islam Indonesia,” paparnya.

Setelah itu, tak tersiar lagi Serikat Tionghoa Islam Indonesia. Barulah pada tanggal 14 Mei 1961, didirikan  Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang berpusat di Jakarta. PITI dibentuk sebagai wadah organisasi muslim Tionghoa yang mengusung misi dakwah. “Misi PITI untuk membawa Islam sebagai rahmatan lil alamin terutama dalam koridor dakwah di kalangan Tionghoa,” lanjut Sulaiman Gosalam.

Pengamat Multi Etnik, Shaifuddin Bahrum dalam bukunya Metamorfosis Masyarakat Tionghoa Makassar dalam 10 Tahun Reformasi memaparkan, ketika terjadi pelarangan terhadap orang Tionghoa membentuk organisasi, maka organisasi ini menyamarkan dirinya dengan berganti nama menjadi Pembina Iman Tauhid Indonesia. Akronimnya tetap PITI.

“Dengan nama tersebut ia tidak banyak mendapat sorotan dari pihak pemerintah yang berkuasa ketika itu. Namun setelah reformasi nama PITI sebagai organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia dikembalikan,” kata Shaifuddin Bahrum, Sabtu, 28 Juli.

*PITI Sulsel

Sejak berdirinya, PITI menyebar di hampir seluruh provinsi di nusantara termasuk Sulsel. PITI merambah di kota Sultan Hasanuddin ini sejak tahun 1980. Meskipun organisasi ini memiliki pembatasan etnik, tetapi dalam kenyataannya juga menerima penganut agama Islam dari etnik lain. Terutama pada PITI Wilayah Sulsel dan PITI Kota Makassar.

Sulaiman Gosalam yang memimpin 2006-2011 menuturkan, kepengurusan PITI Sulsel telah berlangsung selama tiga periode. Dalam kepemimpinannya, dia banyak mengembangkan aktivitas organisasi pada kegiatan dakwah dan sosial, disamping juga melaksanakan pendidikan dan kegiatan lain seperti kursus bahasa Mandarin, bulletin, pembentukan pengurus cabang di kabupaten/kota dan sebagainya.

“Perintis PITI Sulsel pertama bernama Faizal Thung dan ketua pertama adalah Abdul Hamid Rasyid. Saat ini, jumlah anggota PITI Sulsel yang tercatat sekitar 1.000 orang. Kalau dihitung dengan yang tidak tercatat sekitar 1.500 orang,” sebutnya. Untuk kota Makassar sendiri, anggotanya berkisar 300 orang.

“Di luar Ramadan, kegiatan kami banyak pada pengajian rutin, belajar baca tulis Alquran, praktik salat khusyuk, khitanan massal, arisan dan silaturahmi,” ucap dia tersenyum.

Saat ini, tampuk kepemimpinan PITI Sulsel  periode 2012-2017 diamanahkan kepada H Kwan John Adam (Kwan Fu Ming). Ayah tiga anak ini memaparkan dirinya belum bisa berkomentar lebih jauh mengenai agenda PITI kelak di bawah kepengurusannya. “Saya belum dilantik. Nanti setelah Ramadan. Tapi secara umum, kegiatan keagamaan yang rutin seperti pengajian dan bakti sosial akan diintensifkan,” katanya. (yan-sbi/ars-pap)
fajar.co.id
Rating Artikel : 5 Jumlah Voting : 99 Orang
Previous Post
Next Post

0 Please Share a Your Opinion.: